Setiap tanpa tujuan, kita selalu menuju satu, Toko Kebab yang hampir bangkrut itu. Toko kebab yang berada di pinggiran pasar dengan riuhnya perputaran uang di samping kiri kanannya, namun ia memiliki ruang sendiri yakni sepi. Setiap kita yang menjadi pasangan ini datang, seorang penjaga dan pengelola paruh baya terlihat sibuk untuk menyiapkan semuanya. Pesanan ku selalu kebab tanpa sayur yang kau katakan memiliki rasa 'lumayan' dan secangkir besar teh tarik, kadang, kalau sedang beruntung TV yang ada di toko kebab itu menyiarkan pertandingan sepak bola yang berhasil membuat kau ngambek karena tak kuhiraukan.
Sepanjang kita sering ke sana, Toko kebab itu tak pernah ramai, hanya ada kita berdua dan lelaki paruh baya sedang merokok berharap ada pelanggan lagi yang datang untuk menyantap kebabnya. Namun, kenyataannya kita berdua saja yang ada di meja pojok dengan pesanan yang sudah dihapalnya.
Toko kebab ini juga tidak terlalu penting bagi kita, tak pernah penting sama sekali, bahkan nama toko kebab ini kita tidak tahu, karena ia adalah tujuan kita yang sedang bingung mencari tujuan. Bahkan jika sedang asik dengan tempat baru, kita selalu lupa dengannya. Aku masih ingat raut lelaki paruh baya itu ketika menyambut kita yang hampir berminggu-minggu tidak ke sana. Kerutan wajahnya saat tersenyum, mata yang berbinar seperti jatuh cinta, serta keramahannya yang berlebihan. Nampaknya selama berminggu-minggu ia tidak kedatangan pelanggan.
Berjalannya waktu, lama kita tidak berkunjung ke sana, Toko kebab itu mulai gelap. Kita mengira ia hanya libur saja, beberapa hari kemudian keadaannya masih tetap sama. Gelap. Penjaga paruh baya itu masih ada di sana, seperti mengemas segala sesuatunya dalam pencahayaan seadanya.
Bahkan kita hanya lewat saja, alih-alih bertanya, sedih pun tak ada. Kita masih menganggap ia hanya libur saja dan melewatinya. Jahatnya, kita kadang berpaling ke penjual kebab franchise yang tersedia hampir di seluruh Indonesia. Berhari, berminggu, kemudian berbulan, masalah kita masih sama bingung dengan tujuan saat bertemu untuk bercerita. Lalu, kita terpikir toko kebab tadi, itu ide yang bagus dan aku langsung bergegas ke sana.
Sesampainya di sana, Toko kebab itu sudah tutup, tak ada lagi meja favorit kita. Lelaki paruh baya raib. Biasanya lelaki tua itu akan selalu tersenyum melihat pendar cahaya kendaraan terparkir di depan toko ini. Toko itu kosong, tak ada apapun kecuali gelap. Resmi tutup.
Seketika aku merasa kehilangan, entah kamu merasakannya atau tidak. Toko dengan kesederhaan tadi sudah tidak ada, lelaki paruh baya yang ramah namun terlihat kaku itu entah ke mana. Yang pasti bangunan itu tidak akan menjual kebab lagi, sudah pasti akan menjual barang lainnya yang menghasilkan cuan lebih banyak dan mengejar ketertinggalannya dengan toko sebelahnya yang ramai. Tak ada lagi ruang sepi yang diciptakan, sunyi kini tak meruang lagi di bangunan itu bersama lelaki itu.
Sama seperti kita kini. Tutup. Hilang. Berganti.
Kalau pun beruntung, rasa kehilangan sudah pasti menghampiri setelah rasa tak peduli. Entah aku, kamu atau kita, entah sekarang atau nanti kita tak pasti saling mencari lagi.
Kita adalah tujuan saat bingung mencari-cari tujuan. Kita adalah ketidakpentingan itu sendiri. Akhirnya, kita sama seperti toko kebab itu. Mati.
Kalau pun beruntung, rasa kehilangan sudah pasti menghampiri setelah rasa tak peduli. Entah aku, kamu atau kita, entah sekarang atau nanti kita tak pasti saling mencari lagi.
Kita adalah tujuan saat bingung mencari-cari tujuan. Kita adalah ketidakpentingan itu sendiri. Akhirnya, kita sama seperti toko kebab itu. Mati.